Flash Menu

Halaman

Rabu, 18 Juli 2012

Watergate, Kisah Orang-orang di Sekeliling Presiden


Setelah 38 tahun sejak pertama kali diterbitkan, All the President’s Men akhirnya beredar di sini dalam bahasa Indonesia (Penerbit Serambi, Juni 2012). Walau jarak waktunya hampir empat dasawarsa, namun buku karya Carl Bernstein dan Bob Woodward ini tetap relevan setidaknya karena dua alasan.


Pertama, karya ini merupakan hasil penulisan yang lebih utuh dari laporan-laporan pemberitaan yang disampaikan oleh kedua jurnalis ini untuk suratkabar Washington Post. Sebagai hasil investigasi yang sangat mendalam, hasil reportase investigatif mereka selalu menjadi acuan para jurnalis sampai sekarang.

Kedua, reportase mereka memberikan dampak besar terhadap kepresidenan Richard Nixon, yang harus mengundurkan diri dari jabatannya. Peristiwa yang dikenal sebagai Watergate ini memberikan pelajaran penting perihal etika demokrasi dan sisi-sisi gelap kekuasaan. Pada masanya, skandal Watergate ini mengguncang dunia.


Apa yang terjadi di Watergate—nama kompleks perkantoran dan permukiman di Washington, D.C., tempat Partai Demokrat AS bermarkas?

Kedua jurnalis itu membuka buku yang meraih Hadiah Pulitzer ini dengan sebuah adegan seperti ini: “Sabtu, 17 Juni 1972, pukul sembilan pagi. Masih kepagian untuk orang menelepon. Woodward meraih gagang telepon dan terjaga sepenuhnya. Asisten editor Washington Post menelepon. Lima orang ditahan dini hari tadi karena kasus pembobolan di markas Partai Demokrat dengan membawa peralatan fotografi dan piranti elektronik. Apakah Woodward bisa masuk?”

Hari Sabtu sebagian besar jurnalis libur. Kantor Washington Post sepi. Woodward menyangka, pembobolan ini tak ubahnya kasus-kasus kecil yang penugasan reportasenya diserahkan kepadanya (maklum, ia orang baru di koran ini), seperti investigasi rumah makan yang sanitasinya kurang baik dan korupsi waktu kecil-kecilan di kepolisian. Ia baru terhenyak, beberapa waktu kemudian, ketika salah seorang dari pembobol itu mengaku di hadapan hakim bahwa ia pensiunan CIA.

Selanjutnya ialah cerita panjang yang kemudian berujung kepada orang-orang di sekeliling Richard Nixon, Presiden AS ketika itu, seperti H.R. Haldeman, Kepala Staf Gedung Putih, dan John N. Mitchell, mantan jaksa agung dan direktur kampanye Nixon untuk pemilihan presiden. Hasil reportase investigasi Bernstein dan Woodward ini ditulis bak novel detektif politik. Sangat detail, sehingga pembaca mesti cermat meski amat terbantu oleh penuturan mengalir yang tidak membosankan.

Salah satu hal yang menarik dari Bernstein dan Woodward ialah ketahanan (endurance) mereka untuk menjaga kerahasiaan tentang siapa sebenarnya si misterius yang dijuluki Deep Throat. Untuk waktu yang lama, identitas orang yang menjadi sumber informasi kedua jurnalis itu tetap tak terendus. Selama 33 tahun kedua jurnalis dan narasumbernya itu mampu menahan mulut mereka untuk tidak mengungkapkan siapa gerangan Deep Throat ini.

Tiga tahun menjelang wafatnya, pada tahun 2005 Mark Felt menyingkapkan perannya sebagai tokoh utama di balik pengungkapan skandal Watergate dan Washington Post mengorfimasi pernyataan Felt. Woodward menulis kisah perjuangan orang nomor dua di jajaran Federal Bureau of Investigation (FBI) ini dalam bukunya yang terbit pada tahun yang sama, The Secret Man. Ini cerita menarik lain yang mengungkapkan perlawanan Felt terhadap Gedung Putih.

Skandal Watergate dapat terjadi di mana saja dan dalam rupa yang bisa jadi berbeda-beda. Salah satu pelajaran pokoknya ialah bagaimana kekuasaan membujuk orang untuk sanggup melakukan apa saja untuk mempertahankan kekuasaannya. Termasuk membobol markas partai pesaingnya dan mencuri dokumen untuk memenangkan calon presiden yang mereka jagokan.

1 komentar: